Siang ini, matahari sedang beristirahat menjalankan
tugasnya bergantian dengan awan yang membawa gumpalan air. Siap dijatuhkan ke
bumi. Aku terduduk di halte, menunggu bus yang mengantarkanku pulang ke rumah.
Di sebrang sana aku melihat Bapak separuh baya dengan
kaki yang menjulang ke depan pertanda ia sedang istirahat. Di samping kanannya
terdapat tongkat yang bertugas memapahkan tubuhnya. Aku mengadahkan kepala,
tanganku ku angkat setara dengan bahu. ‘Gerimis’ gumamku. Ku alihkan lagi
pandanganku pada bapak separuh baya itu. Air hujan semakin membasahi tubuhku
tapi bapak separuh baya itu tidak ada tanda-tanda berniat untuk berteduh.
Dengan perasaan iba aku menerobos jalanan yang sudah
basah, menghampiri bapak paruh baya itu dan melupakan tujuan awalku untuk
pulang. Aku berjongkok di hadapannya dengan keadaan tubuh kami yang sudah basah
kuyup dengan air hujan. Aku lupa membawa payung padahal aku tau cuaca sedang
tidak baik.
“Kenapa Bapak tidak
berteduh?” tanyaku pada Bapak paruh baya itu.
“Saya lelah dek,
perjalanan yang Bapak tempuh lumayan jauh. Tubuh Bapak tidak cukup mengeluarkan
energi lagi” ujar Bapak paruh baya itu dengan bibir yang bergetar.
“Bapak sendirian? anak
atau istri Bapak mana?” tanyaku sambil celingak-celinguk mencari seseorang yang
mungkin kenal dengan Bapak ini.
“Iya dek. Istri saya
meninggal setelah kecelakaan menimpa kami dan anak saya ia pergi tak tau kemana
setelah rumah kami disita oleh bank” ucapnya lirih. Aku tau Bapak paruh baya
ini menyimpan banyak beban.
“Ayo pak saya bantu
berdiri, kita berteduh di halte.“ ajakku yang langsung dapat anggukan dari
Bapak paruh baya itu.
Aku jadi teringat ketika aku berumur 8 tahun Ayahku telah
menghembuskan nafas terakhirnya. Aku heran anak mana yang tega melantarkan bapaknya
seperti ini? sepertinya tuhan mengirimkan bapak ini sebagai pengganti Ayah
karena aku belum sempat merawat masa tuanya.
THE END.
(Bekasi,
15 oktober 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar